Saksi KLH Hanya Memantau, Tidak Memulihkan Rusaknya Kualitas Lingkungan

28 11 2007

Persidangan kasus gugatan Walhi terhadap Lapindo dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/11) menghadirkan saksi terakhir dari pihak tergugat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Indarto Sutanto, yang bekerja sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), sebuah instansi di bawah KLH, bertugas melakukan pemantauan di lokasi semburan lumpur Sidoarjo sejak 10 Juni 2006.

“Tugas kami melakukan pendataan area untuk membatasi meluasnya area genangan lumpur, mengurangi jatuhnya korban dan menjaga agar objek-objek vital seperti jalan tol, sungai, saluran irigasi dan permukiman tetap berfungsi, serta memasang simbol-simbol bahaya mana-mana tanggul yang mudah longsor dan orang bisa tercebur,” Indarto menjelaskan detail penugasannya. Usul pembuatan tanggul dan kolam-kolam penampung lumpur juga datang dari tim penanggulangan lumpur di mana Indarto tergabung. “Tapi sejak Februari 2007, tim kami tidak lagi berkantor di Surabaya, posko sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, tiap bulan sekali kami masih mengambil sampel.”

Ketika ditanya oleh hakim ketua Soedarmadji, SH mengenai surat tugas dan kaitannya dengan jabatannya, Indarto menjelaskan bahwa tugas sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup adalah mengawasi kinerja lingkungan sebuah perusahaan, misalnya dalam pengelolaan limbah B3. “Kami melakukan verifikasi lapangan, dan membuat laporan pengawasan untuk nantinya dinilai apakah layak atau tidak perusahaan mendapat izin operasional,” kata Indarto, “Izin hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri, kami tidak berwenang soal perizinan.”

“Sebelum terjadi semburan lumpur juga sudah dilakukan pengawasan terhadap PT Lapindo Brantas?” tanya hakim ketua. “Sudah, berkaitan dengan limbah produksinya. Tapi itu tapi dilakukan oleh petugas lain,” jawab Indarto.

“Setelah terjadi semburan, apakah anda juga melakukan perbaikan kerusakan lingkungan?” tanya hakim ketua lagi. Indarto menjawab, “Tidak, kami hanya membuat rekomendasi kepada unit pemulihan kualitas lingkungan, di bawah Asisten Deputi. Pada awal terjadi semburan, kami optimis bahwa semburan bisa dihentikan. Karena itu dibuat rencana pemulihan, tapi ternyata semburan terus berlanjut. Setelah ada BPLS, unit pemulihan tidak ada lagi di lapangan. Yang ada hanya pemantauan di bawah Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan.”

Lumpur Dibuang ke Kali Porong, Surabaya bisa Banjir

Terkait dengan pembuangan lumpur ke Kali Porong, sebetulnya tim penanggulangan lumpur mempunyai usulan lain. Berdasarkan kajian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), fungsi Kali Porong antara lain untuk mencegah banjir melanda kawasan Surabaya. Jika lumpur dibuang melalui Kali Porong, dikhawatirkan lumpur akan memblok Kali Porong. Ketika musim hujan datang, Surabaya bisa terendam banjir. Karena itu menurut Indarto, diusulkan agar dibuat kanal khusus untuk mengalirkan lumpur ke laut. “Gambar rancangan teknik pembuatan kanal sudah dibuat secara sederhana oleh Timnas maupun ITS, tapi dalam kenyataannya tidak pernah direalisasikan,” kata Indarto.

Mengenai kualitas udara di lokasi semburan, Indarto mengakui tidak ada yang bisa dilakukan sehingga tim penanggulangan lumpur hanya bisa menyarankan agar menjauhi lokasi. Di kawasan ring satu semburan lumpur, sebaiknya tidak berlama-lama atau menggunakan masker pengaman. Sedangkan air lumpur sendiri langsung dibuang, tidak dilakukan pengolahan. Sebagian terlepas secara alami, ada yang masuk ke saluran irigasi sehingga air tidak dapat diminum lagi karena rasanya asin.

Di akhir persidangan, kuasa hukum pihak tergugat (KLH) mencoba menarik kesimpulan dari jawaban saksi yang diajukannya, bahwa sebagai instansi yang bertugas mengelola lingkungan hidup KLH sudah bekerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam kasus Lumpur Sidoarjo. “Secara garis besar, kami sudah bekerja maksimal melakukan pengawasan dan pengambilan sampel, dan membuat rekomendasi untuk jangka panjang,” jawab Indarto. Tapi dari jawaban-jawaban saksi, tugas yang dibebankan kepadanya sebagai pengawas lingkungan hidup BPLH sangat terbatas dan tidak memadai untuk kasus sebesar Lumpur Sidoarjo, dan tidak menggambarkan peran yang seharusnya diemban oleh KLH. Untuk pribadi saksi, memang sudah maksimal tugas yang dikerjakannya, tapi secara keseluruhan instansi KLH dengan banyak unitnya tidak terungkap di persidangan bagaimana perannya.

Sidang kali ini ditutup dengan mengagendakan pembacaan kesimpulan pada dua pekan mendatang





Soal Status Badan Hukum Walhi, Saksi Ahli Hukum Perdata Lapindo dkk Tak Punya Kapasitas

23 11 2007

Dua orang saksi ahli gagal mempermasalahkan status badan hukum Yayasan Walhi. Mereka adalah Noer Ali, PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham, dan Prof Dr Sri Gambir Melati, SH, ahli hukum perdata dari UI. Keduanya bersaksi untuk Santos Brantas Pty Ltd, tergugat keenam dalam persidangan kasus gugatan Walhi terhadap PT Lapindo Brantas dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Noer Ali yang menjabat Kepala Seksi Badan Hukum Sosial Subdit Badan Hukum Direktorat Perdata menerangkan status badan hukum yayasan menurut UU No. 16/2001 yang berlaku sejak 6 Agustus 2002. “Sesuai dengan ketentuan peralihan dalam pasal 71 ayat 1 UU No 16/2001 yang diubah dengan UU No. 28/2004, yayasan yang sudah ada dapat tetap diakui sebagai sebagai badan hukum jika sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara atau sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin operasional dari instansi terkait,” Noer Ali menjelaskan. “Dan bagi yayasan yang belum memenuhi ketentuan tersebut diberi kesempatan tiga tahun untuk menyesuaikan diri.”

Kuasa hukum tergugat, Luhut M Pangaribuan memotong, “Apakah ini berkaitan dengan bukti tambahan tentang batas waktu bagi yayasan?” Di awal persidangan, pihak tergugat mengajukan bukti tambahan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang batas waktu pendaftaran yayasan sebagai badan hukum.

“Pada ayat 2, yayasan yang tidak memenuhi kriteria ayat 1 diberi kesempatan menyesuaikan Anggaran Dasar-nya dan minta status badan hukum kepada Menteri paling lambat satu tahun,” lanjut Noer Ali. “Dan jika tidak menyesuaikan diri, berlaku pasal 71 ayat 4, yaitu tidak dapat lagi menggunakan kata ‘yayasan’ dan dapat dibubarkan berdasarkan keputusan pengadilan atas permohonan jaksa atau pihak yang berkepentingan.”

Menurut Luhut, Walhi mengajukan gugatan pada bulan Februari 2007, sedang dalam catatan Depkumham Walhi baru mendaftarkan permohonan status sebagai yayasan pada 24 Mei 2007. “Apakah ini permohonan baru atau penyesuaian yang lama?” Luhut mencoba bertanya kepada Noer Ali.

Pertanyaan ini diprotes kuasa hukum Walhi, Taufik Basari, sebab di awal persidangan Noer Ali diambil sumpah sebagai saksi ahli, bukan saksi fakta, maka seharusnya ia menjelaskan berdasarkan keahlian. Kedua belah pihak sempat bersitegang soal status saksi. Luhut mencoba berkelit minta agar saksi disumpah kembali sebagai saksi fakta, tapi diprotes Taufik, “Rancu kalau satu orang sekaligus sebagai saksi ahli dan saksi fakta, kalau mau ajukan orang lain sebagai saksi fakta.”

Menghadapi keberatan dari pihak Walhi, Luhut tetap ngotot mengulang pertanyaan yang sama hingga tiga kali. Pada pokoknya, menggunakan pasal-pasal dalam UU tentang yayasan, Luhut ingin minta jawaban dari saksi ahli yang diajukannya bahwa Walhi tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah badan hukum.

Saksi ahli berikutnya, Sri Gambir Melati, menyatakan bahwa jika sebuah organisasi mengajukan gugatan kasus perdata tapi tidak memenuhi ketentuan sebagai badan hukum, maka perbuatan hukum tersebut harus batal demi hukum. Kuasa hukum Walhi, Iki Guladin, mengingatkan pada pasal 38 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

“Dalam pasal tersebut, dasar untuk melakukan gugatan adalah harus berbentuk badan hukum atau yayasan,” lanjut Iki. “Sementara dalam pasal 71 ayat 1 huruf b UU tentang yayasan disebutkan bahwa pada saat UU mulai berlaku, yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin kegiatan dari instansi terkait. Jika instansi terkait tidak mengenal istilah perizinan, apakah yayasan tersebut bisa dikategorikan sebagai badan hukum?” Sri Gambir Melati menjawab dirinya tidak dalam kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu.

Sidang ditutup dengan kesepakatan bahwa sidang berikutnya diajukan pada Selasa pekan depan dengan mengajukan satu orang lagi saksi ahli dari pihak tergugat ke-7, 8 dan 10. Sebelumnya dari pihak Walhi mengingatkan, dalam persidangan sebelumnya disepakati bahwa persidangan kali ini yang terakhir kalinya, bahkan seharusnya tinggal pembacaan kesimpulan. Tapi dengan alasan saksi yang diajukan sedang mengikuti persiapan konferensi perubahan iklim di Bali dan baru bisa datang minggu depan, majelis hakim memutuskan permohonan tergugat.





Ahli Drilling ITB Akui Eksplorasi di Sumur Banjarpanji 1 Tidak Sesuai Perencanaan

16 11 2007

Dalam persidangan kasus gugatan perdata Walhi terhadap PT Lapindo Brantas, dkk, yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (14/11), pihak tergugat kembali mengajukan dua orang saksi ahli. Yang pertama Dr. Dodi Nawangsidi dari Teknik Perminyakan ITB, ahli di bidang pengeboran (drilling) dan mekanika batuan, sedang yang kedua Prof. Agoes Sugianto ahli ekotoksikologi dari Fakultas MIPA Universitas Airlangga Surabaya.

Ditanya mengenai belum dipasangnya casing sepanjang 5.000 kaki di sumur eksplorasi Banjar Panji 1 yang dioperasikan oleh PT Lapindo Brantas, menurut Dodi, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan tidak melanggar prosedur standar drilling, sebab masih dalam batas kick tolerance, nilainya masih di bawah standar yaitu 0.5 ppg. Casing adalah pipa baja yang dipasang dalam sumur minyak atau gas pada saat drilling untuk mencegah terjadinya kebocoran dan keruntuhan dinding sumur.

Laporan Pemeriksaan BPK-RI atas Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo menyebutkan bahwa PT Lapindo Brantas pada tanggal 27 Maret 2006 telah melakukan pengeboran sampai kedalaman 9.297 kaki tetapi baru memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, sehingga ada lubang (open hole) sepanjang 5.717 kaki. Dodi menganggap ini sudah biasa dalam praktik drilling. Contohnya, pengeboran di Selat Madura dengan open hole lebih dari 4.700 kaki, di Laut Cina Selatan 6.300 kaki, dan di Kalimantan (oleh Total Indonesia) mencapai 6.000 kaki, bahkan pernah sampai 12.000 kaki.

“Dalam perencanaan drilling di Banjarpanji 1, seharusnya pada kedalaman tersebut sudah dipasang casing, tapi praktiknya di lapangan tidak sesuai,” sanggah Iki, kuasa hukum Walhi.

Dodi mengakui ketidaksesuaian drilling dengan perencanaan, tapi lagi-lagi hal ini dianggap wajar. “Tidak harus praktik sesuai dengan perencanaan,” Dodi beralasan, sambil membuat perumpamaan, “Jika naik mobil dari Bandung ke Jakarta, di awal sudah direncanakan jam segini nyampai Puncak, dalam kenyataannya bisa tidak sesuai…”

Dalam laporan resmi yang dibuat oleh BPK, tidak dipasangnya casing dinilai meningkatkan risiko timbulnya masalah sebab struktur batuan pada sumur Banjarpanji 1 didominasi oleh shale/claystone (lempung) dan sandstone (pasir). Tulisan ilmiah Prof Richard J Davies di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 menyebutkan bahwa open hole pada sumur Banjarpanji 1 menjadi saluran penghubung antara formasi Kujung (sandstone) ke lapisan aquifer yang lebih dangkal serta lapisan lempung bertekanan tinggi pada formasi Kalibeng. Fluida formasi yang masuk ke dalam sumur pada saat terjadinya kick bertemu dengan lapisan shale/claystone, dan dengan terjadinya tekanan yang kuat (overpressured) maka fluida yang telah bercampur dengan shale itu menyembur ke permukaan. Makalah yang ditulis Dr Ir Rudi Rubandini R.S. (kolega Dodi di departemen yang sama di ITB, dan diakui oleh Dodi bahwa “ahli drilling di ITB saya dan Pak Rudi”) pada 27 September 2006 juga menyimpulkan agar selama pemboran hindari open hole pada lapisan shale yang terlalu panjang.

Gempa sebagai Penyebab Semburan hanya “Kemungkinan”

Ditanya tentang latar belakang penelitian Lumpur Sidoarjo (Lusi), Dodi mengatakan “saya diundang BPPT untuk mengikuti seminar internasional IAGI pada 20 Februari 2007”. IAGI dan BPPT meyakini Lusi terjadi karena gempa Yogyakarta.

“Volume semburan lumpur yang mencapai 150.000 meter kubik per hari jauh di atas kemampuan sumur yang hanya sebesar 720 meter kubik per hari, lebih dari 200 kali lipatnya,” Dodi menjelaskan, “Pasti tidak berasal dari sumur, karena ada isotop deuterium dalam kandungan lumpur, padahal deuterium berada di kedalaman 20.000 kaki. Saya menduga dari patahan yang teraktifkan oleh aktivitas tektonik”.

Firman Jaya, kuasa hukum Walhi, mempertanyakan sebab Bleduk Kuwu yang jaraknya lebih dekat dengan pusat gempa Yogyakarta tidak terpengaruh. “Gempa itu tidak selalu yang dekat merasakan,” kilah Dodi, “contohnya gempa di Indramayu baru-baru ini tidak dirasakan di Bandung, tapi terasa di Sukabumi.”

Lebih lanjut Iki menanyakan sumber data yang dipakai Dodi sebagai bahan presentasi di seminar IAGI, dan diakui oleh Dodi, “saya dapatkan dari PT Energi Mega Persada”. Perusahaan ini adalah pemilik PT Lapindo Brantas.

Ditanyakan kaitan antara keahliannya di bidang drilling dengan penyimpulan gempa sebagai penyebab Lusi, Dodi menjawab “dari volume semburan yang sangat besar dan keluarnya lumpur bukan dari sumur pengeboran, satu-satunya kemungkinan adalah dari patahan.” Iki meminta jawaban tegas, bukan sekadar “kemungkinan”, tapi disertai detail data-data sesuai keahliannya. Kuasa hukum dari pihak tergugat memrotes, dan Dodi akhirnya mengakui, “saya bukan ahli gempa”.

Berkaitan dengan penanganan semburan, Dodi tidak menyetujui metode relief well untuk menghentikan semburan. Dodi beralasan, “Di Brunei pun pernah terjadi semburan di dekat pengeboran, dicoba dengan relief well tidak berhasil, baru berhenti setelah 20 tahun, apakah sudah habis sendiri (lumpurnya)”. Kepada majelis hakim, saksi ahli dan kuasa hukum para tergugat, Iki mengoreksi pernyataan Dodi dengan menunjukkan makalah yang menyebutkan semburan lumpur di Brunei bisa dihentikan dengan metode pemasangan 20 relief well.

Ahli Ekotoksikologi: Lumpur tidak Berbahaya, Malah Bisa untuk Spa

Sementara Prof Agoes Sugianto menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai limbah, karena menurutnya definisi limbah adalah hasil dari proses produksi. Dalam pengeboran, limbah yang dihasilkan hanya sebesar 2000-3000 meter kubik, sementara lumpur Sidoarjo volumenya jauh melampaui itu. Agoes juga menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai B3 (bahan berbahaya dan beracun) hanya karena dalam uji karakteristik bersifat reaktif.

Agoes menjelaskan tiga uji yang dilakukan di laboratorium Sucofindo dan Corelab, yaitu toxicity characteristic leaching procedure (TCLP), LD50 (letal dosis) dan LC50 (lethal concentration). TCLP untuk menguji semua bahan yang belum diketahui karakteristiknya. LD50 dilakukan untuk menguji dosis bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati. Sedangkan LC50 untuk menguji konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati.

“Hasilnya negatif, bahkan sebagian besar di bawah limit alat ukur, atau tidak terdeteksi,” tambah Agoes, “Dan saya uji LC50 dengan larva udang di habitat Kali Porong terbukti negatif. Kalau cuma beberapa ekor ikan mati, itu bukan pencemaran. Baru disebut pencemaran kalau terjadi mass mortality.

Soal keluhan gatal-gatal yang dirasakan warga, Agoes membantah, “gatal itu karena mikrobiologi, bukan bahan kimia. Saya punya teman dari Puslitbang Geologi Kelautan, dia bilang lumpur Sidoarjo malah bisa dipakai untuk spa, bisa menyembuhkan penyakit.”

Ditanya soal pendangkalan Kali Porong akibat lumpur, menurut Agoes karena debit air kecil saat musim kemarau. “Sekarang kan sudah dipakai kapal keruk untuk mengalirkan lumpur ke laut. Jika musim hujan tiba, hanya tinggal pasir. Masyarakat malah bisa dapat pasir banyak (untuk ditambang).”

Tapi Agoes juga mengeluhkan, “saya melontarkan pandangan-pandangan saya di pertemuan di ITS, di BPPT, di radio dan TV, tapi tidak ditanggapi sama sekali.”





Saksi Ahli Lapindo: Lumpur Sidoarjo “Murni Peristiwa Alam”

9 11 2007

Persidangan kasus gugatan Walhi terhadap PT Lapindo Brantas dkk Rabu (7/1) menghadirkan tiga saksi ahli dari pihak tergugat. Saksi pertama Ir Agus Guntoro, dosen Teknik Geologi Universitas Trisakti, berusaha meyakinkan majelis hakim bahwa fenomena Lumpur Sidoarjo merupakan mud volcano yang murni akibat aktivitas alam, tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Kejadian itu menurut Agus tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengeboran oleh PT Lapindo Brantas, melainkan dipicu oleh gempa Yogyakarta 27 Mei 2006.

Agus yang juga anggota IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), bergabung dalam tim investigasi yang dibentuk IAGI untuk melakukan penelitian kasus Lumpur Sidoarjo, melakukan penelitian lapangan antara bulan Juli hingga September 2007. Ketika ditanyakan oleh penggugat dari Walhi mengenai hasil penelitian tersebut, Agus mengaku tidak tahu apakah sudah dimasukkan ke dalam laporan yang diserahkan kepada pemerintah atau belum. Kepada majelis hakim, saksi dan pengacara para tergugat, pihak Walhi menunjukkan Laporan Pemeriksaan BPK yang sudah memuat hasil penelitian IAGI. Dalam Laporan Pemeriksaan BPK sendiri disimpulkan bahwa terdapat dugaan “kesalahan manusia” dalam proses eksplorasi sumur Banjar Panji 1 yang diduga memicu terjadinya semburan lumpur. Pendapat para ahli termasuk hasil penelitian IAGI yang menyatakan bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh gempa Yogyakarta hanya menjadi keterangan tambahan dalam laporan tersebut.

Saksi ahli kedua Prof Dr Ir Sukandar Asikin, PhD, guru besar Teknik Geologi ITB. Dengan memaparkan teori tentang fenomena pergerakan lempeng benua – sesuai keahliannya sebagai pakar tektonik – Asikin mengarahkan pendapatnya bahwa peristiwa Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta. Seperti saksi sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena mud volcano banyak terdapat di tempat-tempat lain di Indonesia seperti di Timor dan Irian di mana tidak ada aktivitas pengeboran sebelumnya, Asikin menyatakan Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik. Gempa Yogyakarta menyebabkan terjadinya patahan di daerah-daerah yang struktur batuannya lemah dan “kebetulan” berada di bawah permukaan Sidoarjo. Pendapat ini dipertanyakan oleh penggugat dari Walhi, sebab Sidoarjo berjarak sekitar 250 km dari pusat gempa, sedang Bleduk Kuwu (Purwodadi) yang hanya berjarak 120 km tidak terpengaruh sama sekali. Jawaban Asikin “sederhana” saja dan terkesan tidak ilmiah: Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya hanya sedikit.

Sementara staf ahli riset ITS Ir Moch Sofyan Hadi Djojopranoto, saksi ahli ketiga, yang juga merupakan Deputi Bidang Operasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) lebih banyak menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan BPLS dalam mengatasi semburan lumpur dengan membuat tanggul-tanggul dan mengalirkannya ke laut melalui Kali Porong. Sofyan juga sependapat dengan para saksi ahli sebelumnya bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik, bahwa daerah Sidoarjo berada dalam garis patahan yang memanjang hingga ke Selat Madura, dan dalam sejarah sudah terjadi fenomena serupa yang berumur ratusan tahun, bahkan tercatat dalam prasasti zaman Majapahit dan dibuatkan candi di atasnya (Tawangalun).

Pendapat ketiga saksi ahli jelas-jelas menunjukkan keseragaman yang berusaha menggiring ke arah aktivitas alam (gempa Yogyakarta) sebagai penyebab keluarnya semburan lumpur di Porong Sidoarjo dan tidak ada konektivitasnya sama sekali dengan aktivitas manusia, dalam hal ini pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Jadi, hanya “kebetulan” semata-mata. Pendapat ini berbeda dengan penjelasan ahli-ahli geologi yang lain yang diajukan oleh pihak Walhi sebelumnya, juga tulisan Mark Tinglay geolog Australia yang menunjukkan kemiripan kasus Lumpur Sidoarjo dengan kasus yang dihadapi oleh perusahaan minyak Shell di Brunei, di mana terjadi semburan lumpur yang berjarak 500 meter dari sumur eksplorasi, sedang di Sidoarjo hanya berjarak 200 meter. Anggapan bahwa Lumpur Sidoarjo terjadi “murni karena alam” terpatahkan.





Tim Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat Menghargai Pembatalan Pemeriksaan Setempat

9 11 2007

Pada Selasa, 06 November 2007, bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis Hakim Perkara Perdata dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara WALHI (Penggugat) melawan PT. Newmont Minahasa Raya, dkk. (Tergugat), telah mengeluarkan penetapan untuk membatalkan Sidang Pemeriksaan Lapangan di Teluk Buyat yang telah ditetapkan dalam persidangan sebelumnya (Kamis, 25 Oktober 2007).

Atas penetapan pembatalan pemeriksaan lapangan tersebut, kami sebagai kuasa dari Penggugat sangat menghargai sikap dan pendirian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang meriksa perkara tersebut, yang mengurungkan dan membatalkan pemeriksaan setempat, dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat jernih dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sikap Majelis Hakim tersebut memberikan suatu harapan keberpihakan majelis hakim terhadap setiap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Kondisi ini tidak terlepas dari peranan Mahkamah Agung yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan dalam kerangka komitment atau keberpihakan terhadap upaya pelestarian lingkungan

Keberanian majelis hakim dalam melakukakan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan prosedur selama penanganan perkara WALHI melawan PT. Newmont Minahasa Raya, dkk., yang mencapai klimaks dengan membatalkan penetapan pemeriksaan setempat merupakan keniscayaan bagi lahirnya keputusan-keputusan fenomenal dan monumental yang memiliki keberpihakan terhadap lingkungan.

Insiden Peradilan Newmont ini dapat memberikan inspirasi dan pegangan bagi setiap penegak hukum dalam menerapkan asas kecermatan, ketepatan dan kehati-hatian di dalam mengenali berbagai karaktaristik kasus lingkungan.

Persidangan perkara ini tinggal menunggu putusan yang akan dibacakan oleh Majelis Hakim dalam persidangan pada tanggal 6 Desember 2007 mendatang, putusan yang nantinya dibacakan merupakan bukti yang ditunggu oleh semua pihak apakah hukum dinegeri ini memang berpihak pada upaya-upaya penegakkan hukum lingkungan di negeri ini atau sebaliknya.

Homat kami,

Kuasa Hukum Penggugat

Tim Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat.

Contac Person,

Charil Syah, S.H., 0815 137 31988

Zen Smith, S.H., 0815 1127 4444

Firman Wijaya, S.H., M.H., 0818 77 1909

Tina Tamher, S.H., 0811 96 3003





Mengapa WALHI Menolak Pemeriksaan Setempat di Teluk Buyat seperti “Permintaan Newmont”

9 11 2007

Pada saat acara Penyerahan Kesimpulan gugatan terhadap PT. Newmont Minahasa Raya (PT.NMR), Departemen Energi Sumber Daya Mineral (DESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup(KLH) dalam perkara pencemaran Teluk Buyat (25/10/07), saat proses pengadilan tinggal satu tahap lagi untuk pembacaan keputusan, majelis hakim menyatakan mengabulkan pemohonan PT. Newmont Minahasa Raya untuk melakukan pemeriksaan setempat di Teluk Buyat. Acara tersebut rencananya diadakan pada 9 November 2007, dan dibiayai oleh PT.NMR. Keputusan mengadakan pemeriksaan setempat tersebut berdasarkan surat PT. NMR ke majelis hakim dan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini.

Ide pemeriksaan setempat adalah berasal dari Newmont dan terus mengungkapkannya/mengingatkannya dalam beberapa kali persidangan. Namun isi surat Newmont yang menjadi dasar pemeriksaan setempat tersebut bukan surat permohonan, namun adalah surat persetujuan Newmont untuk melakukan pemeriksaan setempat yang diminta hakim. Dengan demikian telah terjadi pemutarbalikan asal usul pemeriksaan setempat tersebut.


Keberatan Tim Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat
Tim Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat menyatakan keberataan dan protes persidangan setempat. Bukti-bukti yang diajukan dan kesaksian yang diberikan selama proses persidangan telah mencukupi. Diantaranya, hasil penelitian Tim Terpadu Penanganan Kasus Buyat yang melibatkan pihak paling luas dan penelitian paling menyeluruh dibanding penelitian lainnya. Anggota Tim Terpadu tersebut adalah pemerintahan KLH, DESDM, Menristek, Universitas, dan organisasi lingkungan Hidup. Hasil penelitian tersebut telah diverifikasi dan dinyatakan valid oleh BPPT.

Pokok-pokok gugatan terhadap Newmont adalah (1) melakukan pembuangan tailing ke laut yang tidak memiliki izin, (2)kegiatan pembuangan tailing tidak memiliki izin pengelolaan tailing sebagai limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), (3) pelepasan merkuri ke udara menyalahi prosedur dan perizinan, (4) penyampaian informasi yang tidak benar dan menyesatkan kepada publik mengenai kedalaman lapisan termoklin, (5) melanggar Konvensi Internasional yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Beberapa aspek pencemaran yang menjadi materi gugatan tidak akan bisa terlihat sekarang dengan pemeriksaan setempat. Pelepasan merkuri ke udara dan pembuangan tailing ke laut tidak akan terlihat lagi sekarang dengan telah berhentinya operasi pertambangan Newmont pada tahun 2004. Walaupun demikian, tailing berbentuk lumpur akan masih ada di dasar laut, sebagaimana dinyatakan laporan terbaru media Mother Jones  pada 10 September 2007, menyatakan dasar laut tersebut berlumpur dan menurutnya tidak menarik sebagai daerah wisata. Jurnalis yang menulis berita tersebut melakukan penyelaman di Teluk Buyat bersama dengan pihak Newmont Minahasa Raya secara langsung.

Kualitas air laut yang direncencanakan diambil dan diperiksa saat pemeriksaan lapangan adalah diluar materi gugatan. Dengan sempitnya sasaran pemeriksaan setempat (pengambilan dan pemeriksaan air) dan perubahan-perubahyan yang telah terjadi sesudah berhentinya operasi pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya sejak tahun 2004 maka pemeriksaan setempat hanya bertujuan mengaburkan upaya pembuktian bahwa telah terjadi pencemaran di Teluk Buyat. Jika hal tersebut dilakukan majelis hakim membiarkan dirinya menjadi korban muslihat Newmont.

Melaporkan ke Mahkamah Agung

Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat melaporkan Majelis Hakim yang mengadili gugatan Walhi terhadap Newmont,dll ke Mahkamah Agung. Mereka diterima oleh Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung. Pelaporan tersebut menyangkut Majelis Hakim yang melebihi kewenangganya. Berdasarkan prinsip perkara perdata, pemeriksaan setempat seharusnya berasal dari penggugat, dan hakim dituntut untuk bersikap pasif, lain halnya dengan prinsip perkara pidana, hakim dituntut untuk bersikap aktif.





Penjaga Pintu Air Kali Porong: Warga Bantaran Sungai Cemaskan Banjir

1 11 2007

Persidangan kasus Lapindo (31/10) di PN Jakarta Selatan mendengarkan kesaksian dari dua orang warga yang diajukan oleh pihak tergugat. Saksi pertama adalah seorang penjaga pintu air Kali Porong yang telah bekerja sejak tahun 1988 membagi air irigasi ke sawah, sumur-sumur milik warga dan sumber air untuk PDAM. Aliran air berasal dari Kali Kanal, merupakan anak sungai Kali Porong, jaraknya sekitar 30 km di atas posisi pembuangan lumpur (spill way) ke arah hulu. Setelah pembuangan lumpur ke Kali Porong, masyarakat di empat desa yakni desa Mindi, Pejarakan, Kedung Cangkring dan Besuki masih menggunakan air dari Kali Kanal untuk keperluan sehari-hari, memasak dan mandi. Di bagian sebelah atas (arah ke hulu) dari spill way masih banyak orang yang melakukan aktivitas menangkap ikan. Bahkan PDAM menggunakannya sebagai sumber air sejak lima tahun lalu.

Sebaliknya kondisi di sebelah bawah (ke arah laut) Kali Porong tingkat sedimentasinya makin tinggi. Jika sebelum pembuangan lumpur jarak dari dasar sungai dengan tebing sekitar 7 meter, sekarang tinggal 1,5-2 meter saja. Sedimentasi ke arah hulu hanya sejauh 200 meter, sedangkan ke arah laut mencapai 2 km. Akibatnya warga di pinggir Kali Porong sekarang merasa cemas, jika sewaktu-waktu air sungai meluber saat datang musim hujan. Jika ini betul-betul terjadi, diyakini 5 kecamatan di 3 kabupaten (Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan) yang berada di sepanjang Kali Porong terancam terendam luapan sungai. Sejak dikeluarkannya Perpres tentang pembuangan lumpur ke Kali Porong (Maret 2007) sendiri musim penghujan belum terjadi, tapi kecemasan tetap menghinggapi warga.

Sementara saksi kedua adalah relawan pemantau tanggul di titik rawan 25 hingga 42 mengungkapkan bahwa BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) pernah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa lumpur tidak membahayakan kesehatan. Waktu peringatan tujuh belasan, dua kuintal bibit ikan diceburkan ke kolam di samping tanggul untuk lomba mancing ikan, dan warga yang mengkonsumsinya tidak apa-apa. Tapi setelah ditegaskan oleh pihak penggugat dari WALHI, jelas bahwa ikan-ikan itu tidak mungkin dilepaskan di dalam lumpur panas.





Gugatan Direktut Newmont Terhadap New York Times Ditolak

10 10 2007

Rabu, 10 Oktober 2007

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan yang diajukan Presiden Direktur PT Newmont Minahasa Raya Richard Bruce Ness terhadap harian The New York Times dan seorang wartawannya Jane Perlez dengan tudingan pencemaran nama baik.

“Pengadilan ini tidak berwenang memeriksa dan pengadili perkara ini,” kata Ketua Majelis Hakim Heru Pramono saat membacakan putusan sela di PN Jakpus, Rabu. Dengan demikian, putusan ini sekaligus menjadi putusan akhir perkara tersebut.

Alasan pengadilan tidak berwenang, jelas Heru, karena berdasarkan jenis dan faktor koneksitas, untuk menentukan pengadilan mana yang lebih layak untuk memeriksa dan pengadili suatu perkara harus mempertimbangkan, kemudahan biaya perkara, fasilitas dan tempat tinggal para penggugat dan tergugat.

Dalam perkara ini, kata Heru, penggugat yakni Richard Bruce Ness adalah warga negara Amerika. Sedangkan para tergugat, yakni Jane Perlez adalah warga negara Australia yang saat ini bertempat tinggal di Islamabad, Pakistan dan harian New York Times berkantor di New York, Amerika Serikat.

Karena putusan ini adalah putusan akhir, Heru mempersilahkan pihak penggugat untuk mengajukan banding. “Pemeriksaan perkara ini selesai dan ditutup,” kata Heru yang didampingi hakim anggota Zulfahmi dan Pandji Widaro sambil menutup sidang.

Setelah sidang, kuasa hukum Richard, Arjon Sinaga enggan berkomentar saat ditanya apakah akan mengajukan banding atau tidak. “Kami konsultasi dulu,” katanya. Sedangkan kuasa hukum New York Times dan Jane Perlez, David Widiantoro menyatakan puas atas putusan ini. “Puas dong,” ujarnya singkat sambil berlalu.

Seperti diberitakan, Richard menilai harian New York Times telah memuat artikel yang mencemarkan nama baik dan membunuh karakternya. Artikel itu ditulis oleh wartawan New York Times bernama Jane Perlez dan dimuat tiga kali, yakni tanggal 9 September 2004, 24 September 2004 dan 7 Oktober 2007.

Richard menuntut New York Times memulihkan nama baiknya dan dimuat di halaman depan harian itu dan Herald Tribune. Selain itu, dia menuntut supaya New York Times membayar ganti rugi imateriil sebesar US$ 63.930 juta atau sekitar Rp. 639 juta.

Richard sendiri telah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado pada 26 April lalu dalam kasus pencemaran lingkungan limbah tailing di sekitar pabrik PT. Newmont Minahasa Raya. (Rini Kustiani)

Good news, mate!





Kuasa Hukum Lapindo Mengulur Waktu Untuk Cari Saksi

5 10 2007

Agenda persidangan gugatan WALHI atas PT Lapindo Brantas (3/10) yang diisi dengan acara penyerahan berkas tambahan dari para tergugat diwarnai oleh tawar menawar antara hakim dengan tergugat satu sampai empat mengenai jadwal menghadirkan saksi fakta dari tergugat.

Tergugat satu sampai empat: 1.PT. Lapindo Brantas Incorporated, 2.PT. Energi Mega Persada, Tbk, 3.Kalila Energy Limited, 4.Pan Asia Enterprise yang diwakili oleh Oto Bisma meminta majelis hakim yang diketuai oleh Mulyono untuk menghadirkan saksi fakta pada 31 Oktober dengan alasan liburan Idul Fitri sehingga kesulitan menghadirkan saksi, namun sidang yang sudah tertunda lama itu membuat majelis hakim yang diketuai Mulyono bersikukuh untuk meminta sidang tetap diadakan tanggal 22 Oktober.

Oto Bisma, kuasa hukum tergugat 1-4 mengatakan,”Majelis hakim, mohon sidang diadakan tanggal 31 Oktober karena Idul Fitri dan liburan panjang yang mengakibatkan kami kesulitan mencari waktu kapan saksi bisa dihadirkan.”

Namun, Mulyono, sebagai ketua majelis menampik,”Wah kalau tanggal itu, sudah kelamaan. Saya pikir tanggal 22 Oktober adalah waktu yang tepat.”

Tawar menawar ini usai tergugat 1-12 memberikan alat bukti tambahan seperti Materi Paparan Tambahan Tentang Semburan Lumpur Sidoarjo Tanggal 7 Maret 2007 dan Materi Laporan Menteri Lingkungan Hidup ke DPR Tanggal 31 Juli 2007.

Seperti diketahui taktik mengulur-ulur waktu adalah salah satu cara yang digunakan untuk mencari saksi-saksi yang meringankan tergugat dan memang cukup sulit untuk mencari saksi yang menguntungkan pihak Lapindo Cs karena penduduk dari sejumlah desa memang antipati mengingat tempat mereka hidup kini sudah tenggelam oleh genangan lumpur.

Jika tergugat 1-4 belum siap, hakim Mulyono, segera meminta tergugat 5-6 (PT. Medco Energi Tbk, Santos Australia Ltd) segera menghadirkan saksi mereka. “Baik, kalo kalian belum siap, mohon yang lain dulu,” ujar Mulyono.

Mendengar usulan majelis hakim, kuasa hukum WALHI, Firman Wijaya segera menjawab,” Kami siap sidang marathon,” ujar Firman.

Hakimpun segera mengetuk palu dan memutuskan agar sidang segera dimulai lagi tanggal 22 Oktober dengan agenda mengajukan saksi fakta.





Website LH Pelintir Hasil Penelitian Teluk Buyat

2 10 2007

“Entah mengapa, hasil penelitian Tim Terpadu menyatakan Teluk Buyat tak tercemar, padahal dari telepon menteri (Nabiel Makarim) bilang teruskan saja,” ujar Masnelyarti Hilman, saksi fakta dalam persidangan (21/9).

Kejadian itu, bak petir di siang bolong bagi Tim Terpadu mengingat hasil penelitian yang sebenarnya belum dipublikasikan. Pernyataan ini tertera pada tiga organisasi LSM lingkungan yang ikut dalam Tim Terpadu tersebut. “Kesimpulan itu disusun sepihak oleh Meneg LH di tengah Tim Teknis yang masih bekerja menganalisa hasil laboratorium atas sekitar 200 sampel selama 2 hari pada 18-19 Oktober 2004,” sebut ketiga organisasi lingkungan hidup itu dalam pernyataan tertulisnya.

Masnelyarti yang kala itu juga ikut dalam tim gabungan menjelaskan bahwa dirinya memang tidak setuju dengan hasil akhir yang diumumkan LH, karenanya sejumlah anggota tim Terpadu langsung mengundurkan diri karena dugaan kuat sejumlah oknum di LH telah diduga mendapatkan imbalan dan dengan diam-diam mengeluarkan laporan berisi Teluk Buyat tidak tercemar. Dugaan Nabiel yang juga terlibat makin santer tercium, namun bukti-bukti kuat tak ditemukan.

Dalam persidangan Nelly menjelaskan dari tim teknis terpadu yang meneliti Teluk Buyat sudah final menyatakan bahwa teluk itu sudah tercemar limbah B3, Kemetrian sudah beberapa kali melakukan peneguran, namun langkah itu dianggap angin lalu dari Newmont.

”Studi ERA (Ecological Risk Assessment) KLH tak sepakat dengan pihak mereka soal sample. Sample air laut yang diberikan Newmont adalah air laut pada bulan Oktober-November dimana permukaan laut tak bergelombang. Namun kami minta agar sample itu diberikan pada bulan Juli-Agustus, dimana gelombang laut besar. Ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kekeruhan dibawah permukaan laut,” tukas Nelly dalam persidangan. Berdasarkan hal itu, izin pembuangan limbah Newmont tak diberikan.

Nelly menjelaskan dari penelitian 23 sample ikan, ada 10 diantaranya yang kadar arseniknya berada diambang batas normal yang ditetapkan dirjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan), yakni 00,5 ppm.

Hasil penelitian tim terpadu menunjukkan:
1.Tak ada termoklin pada kedalaman 82m
2. Dari 23 sample ikan ada 10 yang arseniknya berada diatas normal
3. Adanya merkuri tak melampaui standar
4. Beberapa jenis ikan yang hilang

Adapun persidangan berikut akan digelar 25 September 2007